Sunday, September 18, 2011

A note from Oslo Book Festival 2011

This weekend I went to the Oslo Book Festival. It was mainly held in the downtown Karl Johan with two main stage, one in Spikkersuppa and the other in the Opera building. After doing the saturday chores in the morning, I went downtown without any particular goal about the festival. I had read the programs, and didn’t find anything particularly
interesting. I just wanted to be around books and people who loved them. I must also admit that my urge to buy print books has decreased a bit after owning an iPad. Books that are not particularly good or important or timeless, I’d rather buy the digital version.

I arrived past midday, dropped by the information booth and picked up the complete programs. Browsed it quickly and a program caught my eyes: Black Metal-Bussen (The Black Metal Bus). A two hour program subtitled “The True Norwegian Black Metal Sightseeing”. (Has there been any fake sig
htseeing?). I thought this could make my day, although I don’t listen much to black metal. I am more into trash-metal and prog one. Then I strolled around the stalls of publishing houses and bookshops while waiting for the pick up time at 13.30 in front of the University Building, which is just the next block from the main festival venue.

Anders Odden, the musician from, among others, the band Satyricon, was going to introduce his book titled “Piratliv” (Pirate Live), to be launched in November. The presentation was about one chapter in his book about his life and adventures in the Black Metal world. A clever way to talk about bus-touring musician life in an actual bus.

The chapter described the Norwegian Black Metal scenes and life since its beginning. About the influence and philosophy behind the music, the historic events and places, the attitudes of the actors, and the atmosphere of this exclusive subculture.

The bus arrived on time. A woman of late thirties, dressed in tight and black greeted the participants and handed out some flyers. I got on the upper deck of the comfortable coach. Odden welcomed us while the bus started departing to Holmenkollen, a place known for its ski jumping events. I really wondered why.

He talked about the early days of his involvement with the music at the age of 13 and his relationship with the band Mayhem. How the musical communities turns into something rebellious with the church burnings and other extreme doings.

The bus stopped. We took the stairs to the dark, wooden Holmenkollen chapel. It was located on the top part of the hilly Holmenkollen. From below it looked quite dramatic, especially after we heard the stories related to the black metal scene. Some of the participants did look like die-hard black metal fans, so I can help thinking that we are acting like in some kind of “pilgrimage”. Odden led the group, we stopped when Odden continued his story. Seeing an Add Imageaging black metalist in person really reminded you of your own mortality.

We went circling the small chapel, passing by a group of people celebrating a wedding, rather awkwardly exchanging looks. At the back of the church there was a placate with an upside-down cross painted in black, another historical trace. The visit ended there and Odden said that the next stop was Helvete (Hell). Again, I wondered what it was.

Hell was now a coffee shop called “Vårt daglige brød” (Our daily bread) owned by a Vietnamese family in the Gamlebyen (Old City of Oslo). This used to be the place where blackmetallists hung out. Fortunately there was still a trace of the old days kept as much as it was. A grim basement which was better called a dungeon. It was a very small room with nothing but a small non functional sink changed into an altar like place where you put burning candles on. On the wall written the words “BLACK METAL” in black paint. Odden mentioned it was in the same condition as the old days except in some places peeled by foreign tourists. I could imagine fanatic black metalists would collect those like people do with the remains from the Berlin wall.

The Vietnamese coffee shop owner had been nice to the black-metal related visitors by giving them free coffee. Odden seemed to return the favour by giving us time and encouraged us to buy some refreshment for the coffee. I smiled silently watching this oddly sweet relationship.

On the way back downtown we passed the address Tøyengata 38. On the third floor, Øystein Aarseth of the band Mayhem used to live there. He was Odden’s hero and inspiration. On the August 10th 1993, he was killed with 23 knife stabs, two in the head, five in the neck and sixteen in the back. Varg Vikernes, of Mayhem and later Burzum, was the killer. This shocking incident did break Odden’s heart and his relationship with everything. It shook his faith in the black metal idealism. On that note, he ended the presentation and reminded us that it was just one chapter
of his upcoming book. Wait and buy! He played some songs from Venom on the rest of the journey. Before we left the bus, he said that he had a compilation of music played on the tour burned in two copies of CD. Those who wanted it should just come and ask. I ran to it and got the last copy. I shook his hand and thanked him

This is certainly not a usual book fair experience!

Thursday, January 07, 2010

Sketsa Andalusia 4: Arsitektur dan Falsafah Kehidupan

Ingin kupinjam kata-kata Gerald Brenan untuk menggambarkan sebagian yang kurasakan ketika berada di dalam istana Alhambra maupun monumen-monumen peninggalan Moor lainnya di Andalusia. Brenan adalah seorang penulis dan pengamat Spanyol berkebangsaan Inggris yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Spanyol. Dia menggambarkan perasaan yang ditimbulkan oleh gaya arsitektur di Spanyol dengan membandingkan peninggalan jaman Kristen dan Moor (Islam). Sebuah perbandingan yang sedikit kusentuh pada sketsa no.2 tentang Palacio de Carlos V. Hal ini juga aku kaitkan dengan perasaan berbeda yang kualami ketika mengunjungi salah satu jantung peradaban Kristen di Eropa.



Begini ujar Brenan – yang dinukil dari buku Spain: A Literary Companion,
“Tidak ada dua gaya arsitektur yang lebih bertolak belakang daripada arsitektur Muslim dan Kristen Barat. Arsitektur Kristen Barat pada fase awalnya dipenuhi dengan bentuk-bentuk yang melambangkan bobot dan kebesaran; dan dalam fase keduanya – jaman Gothic – berupa pembebasan spektakuler dari beratnya bobot pada fase sebelumnya menjadi bentuk yang menjulang ke angkasa. Kedua gaya tersebut menitikberatkan pada hebatnya gaya gravitasi, yang satu dalam bentuk batu masif berat ke bawah (searah gravitasi), dan yang satu lagi tiang-tiang menjulang seperti pohon-pohon besar yang melawan arah gaya gravitasi. Beban ”dosa turunan” (original sin) yang menekan kesadaran manusia dan cenderung untuk menarik dunia kembali ke dalam primitifnya Abad Kegelapan digambarkan dengan batu-batu masif tersebut. Kesadaran waktu (sense of duration) – keyakinan akan kekekalan eksistensi manusia di bumi – juga ditekankan: Gereja Universal (the universal church) dibangun diatas batu yang akan berdiri selama-lamanya, dan dengan begitu ia dapat menginterpretasikan sejarah dalam kerangka naik turunnya moralitas, sebagaimana yang diajarkan dalam Perjanjian Lama.

Arsitektur bangsa Moor adalah kebalikannya. Sebuah masjid memiliki fungsi sebagai pengadilan (court), alun-alun dan pasar, yang dibangun dengan ”ringan” untuk menampung orang banyak. Allah itu Maha Besar sehingga tidak ada yang dapat dibangun manusia untuk menandingi kekuatan maupun kelanggengannya, dan dalam sebuah masyarakat yang didalamnya ada sistem harem yang membikin kompleks garis keturunan, kebanggaan jaman feodal – yang bersumber dari asosiasi antara kepemilikan tanah dengan sebuah keluarga dan dari prospek keturunan yang panjang – tidaklah relevan. Kastil-kastil Muslim pun, walaupun berukuran besar, memberikan kesan ringan dan insignifikan. Selain itu sebuah masjid juga merupakan tempat untuk merenungkan keesaan Allah. Apa yang lebih baik dilakukan selain menyajikan labirin pola-pola geometris untuk dipandang? Kondisi pikiran yang diharapkan adalah semi-trance. Pikiran yang merenungkan pola-pola tersebut, yang tahu bahwa pola-pola itu dapat diurai namun ia tidak mengurainya. Pandangan akhirnya singgah pada apa yang terlihat, dan warna-warna halus, variasi terang dan gelap menambah nuansa inderawi pada penyajian visual nikmatnya sebuah kepastian.”

Tuesday, January 05, 2010

Sketsa Andalusia 3: Buku-buku Washington Irving

Kubilang dalam posting sebelumnya bahwa aku akan menelusuri jejak Washington Irving dalam menelusuri Andalusia.

Musim panas 2009 yang lalu, aku dan kedua adikku mengunjungi Kopenhagen. Disana ada book sale yang membuatku membeli sekantong buku dengan harga murah. Diantara buku yang kubeli ada empat jilid buku kuno yang kubeli tanpa pikir panjang hanya karena bentuknya. Bentuknya seperti yang sering kulihat di film-film Sherlock Holmes.

Baru saja kulihat lagi, ternyata keempat buku itu adalah karangan Washington Irving yang ingin aku cari. Judul-judulnya sebagai berikut:
  • The Alhambra: Tales of a Traveler (1876)
  • Sketch book. Life of Goldsmith (1876)
  • Conquest of Granada and Spain (1876)
  • Mahomet and His Successors (1878)
Sebuah kebetulan?


Sunday, January 03, 2010

Sketsa Andalusia 2: Alhambra

Seorang kawan baik, ketika kuberitahu aku sedang jalan-jalan di Alhambra, spontan berkomentar, ”Does it really exist?? I thought it was just a funny name.” Hehehe.....

Alhambra adalah sebuah kastil yang terletak di kota Granada. Granada adalah salah satu kota penting bersejarah di propinsi Andalusia, di bagian selatan dari Spanyol yang sangat dekat dengan benua Afrika.



Kata Alhambra diambil dari nama lengkap monumen ini dalam bahasa arab al-qala’at al-hamra (the red castle). Dipandang dari jauh, kompleks istana ini seperti sesuatu yang biasa ditemui dalam dongeng-dongeng. Ia mendominasi pemandangan seputar kota Granada, berdiri menjulang di tengah hutan-hutan cypress dan elms, dengan latar belakang pegunungan Sierra Nevada. Dari atas kastil ini bisa melihat seluruh penjuru kota.

Di dalamnya ada dua tempat utama, yaitu Palacio Nazaríes (Nasrid Palace) yang penuh dekorasi memukau dan Generalife, sebuah kompleks kebun-kebun yang indah. Air dipakai menjadi media seni di tempat ini. Di banyak sudut, kalau tidak bisa dibilang semua, suara air mengalir selalu terdengar di hamparan kehijauan. Kombinasi yang dapat membawamu ke tempat yang jauh. Seperti gambaran surga dalam kitab suci.

Namun tentu saja, menjadi wisatawan di jaman sekarang, kita harus berbagi dengan ribuan pengunjung lainnya. Sehari sebelumnya, konon tiket sebanyak 8000 buah telah terjual habis untuk jatah hari itu. Dengan volume kunjungan semacam ini, perlu usaha tambahan bila berminat untuk lebih mendalami dari yang sekedar kasat mata.

Selain dua tempat utama diatas ada pula Alcazaba (Citadel (inggris) atau Kasbah (arab)) yang secara fisik tampak jelas fungsi militeristiknya. Palacio de Carlos V adalah gedung baru yang seperti diimplantasikan dalam kompleks gedung. Arsitektur gedung ini lebih terkesan gaya romawinya, sangat berbeda dengan gedung-gedung sekitarnya. Kuduga ia dibangun setelah Alhambra jatuh ke tangan kekuasaan Kristen.

Alhambra menjadi tempat pertahanan terakhir dari kekuasaan Islam (Moor) di daratan Spanyol. Boabdil, sang raja Moor yang terakhir, turun ke lembah untuk menyerahkan kunci kota kepada monarki Katolik pada tahun 1492. Tindakan monumental ini menandakan akhir dari 700 tahun masa kekuasaan Moor, serta pemutusan resmi ikatan dengan kerajaan yang mendominasi wilayah Mediterania dari Baghdad sampai ke Cordoba.

The peculiar charm of this old dreamy place,” tulis Washington Irving tentang Alhambra di tahun 1833, “is its power of calling up vague reveries and picturings of the past, and thus clothing naked realities with the illusions of the memory and the imagination.” Pesona khas tempat ini adalah kemampuannya untuk menenggelamkan kita dalam impian sayup-sayup serta gambaran-gambaran dari masa lalu, dan kemudian membungkus realitas telanjang dengan ilusi yang dibentuk oleh kenangan dan imajinasi.

Irving adalah salah satu dari petualang romantik (romantic traveler) yang mempopulerkan Alhambra dengan buku-bukunya, seperti diantaranya Tales of the Alhambra. Tahun 2009 yang baru saja berlalu diperingati sebagai 150 tahun Irving dan Alhambra. Kalau tidak salah 1859 adalah tahun kematian Irving. Aku berencana untuk menggunakan tulisan-tulisan Irving sebagai salah satu sumber utama untuk sketsa-sketsa selanjutnya, dengan menyandingkan pengalaman perjalanan yang tentunya berbeda dengan pengalamanku. Irving mengunjungi Alhambra ketika ia belum menjadi sebuah cagar budaya dan ketika turisme belum menjadi sebuah komoditas. Suatu privilese yang tidak mungkin aku dapatkan saat ini.

Ref:

  • Spain: A Literary Companion by Jimmy Burns.
  • Andalucía: Lonely Planet Guide
  • Google Maps

Sketsa Andalusia 1: Sublime is the Mansion



Pada tahun kelahiranku, 1976, penulis argentina Jorge Luis Borges – yang menginspirasi penulis yang kemudian menginspirasiku – mengunjungi Alhambra. Borges buta, tapi dia menggunakan ingatannya akan sejarah serta indera penciuman dan perasanya untuk membayangkan istana tersebut. Dalam puisinya ”Alhambra” Borges merasakan lewat sentuhan tangannya permukaan pualam yang halus, dia mendengarkan gumaman air yang mengalir, mencium aroma manisnya jeruk yang ranum, kemudian mengingat kembali dengan kesedihan kekalahan pamungkas Raja Boabdil.

"Your gentle ways now depart,
your keys will be denied you,
the faithless cross will wipe out the moon,
and the evening you gaze upon
will be the last.”

(“Kehalusanmu kini telah pergi,
kunci-kuncimu akan dirampas darimu,
salib kafir akan menghapus rembulan,
dan malam yang kau pandangi
akan menjadi yang terakhir
.”)



Kini tiga puluh tiga tahun kemudian, sehari sebelum hari peringatan Raja Boabdil yang resmi kehilangan kekuasaannya pada tanggal 2 Januari 1492, aku duduk di depan Mirador San Nicolas di puncak Albaizín. Kupandangi Istana Alhambra dari kejauhan. Kemegahannya tinggal sebuah cerita sunyi. Seperti Borges, aku menutup mataku untuk melihat kecantikan tempat yang kukunjungi dua hari sebelumnya. Untuk kedua kalinya. Kubayangkan gumaman air mengalir di kebun-kebun Generalife








Kurasakan kencangnya angin yang mendoyongkan tubuhku di puncak menara Alcazaba.
Kuhidupkan kembali kenangan yang tidak pernah kupunyai, selain dari sumber pengetahuan intelektual. Berjanji dalam hati, akan kutelusuri ketertarikan hati ini lewat sketsa-sketsa pendek yang kuharap dapat menguntai arti.



Ref:
Spain: A Literary Companion by Jimmy Burns.


Saturday, July 21, 2007

Fun with pastels

This is one of my first pages when playing with pastel for the first time.
Posted by Picasa

Sunday, October 29, 2006

What are you trying to say, Kafka?

Kafka, nama yang sering disebut-sebut di berbagai media sastra. Bahkan ada kata bahasa Inggris "kafkaesque" yang artinya "of, relating to, or suggestive of Franz Kafka or his writings; esp: having a nightmarishly complex, bizarre, or illogical quality". Jadi, kuduga dia adalah figur yang penting.

Kucobalah membaca (tepatnya, mendengar) karya dia lewat audio book di iPod ku. Kulakukan ini sambil melakukan kebiasaan hari minggu: trekking ke hutan. Ini adalah keistimewaan tinggal di Norwegia. Hutan dan danau banyak sekali dan mudah dijangkau. 10 menit dari tempat tinggalku ada danau Sognsvann yang cukup besar dan dikelilingi hutan yang menarik untuk dijelajahi. Setiap hari minggu tempat ini dipenuhi oleh orang-orang tua dan muda. Motto mereka "Å gå på tur, aldri sur", yang artinya, "Selalu berjalan kaki, kita takkan pernah bersedih".

Balik ke Kafka, aku mendengarkan buku audio "The Castle". Setelah melampaui bab 8, aku jadi begitu muak. What the hell is he trying to say? What is the point of all this? Dia menghabiskan banyak waktu untuk membicarakan masalah yang menurutku tidak penting. Sejauh ini aku tidak tahu novel ini mau dibawa kemana. Dengan nyinyirnya, dia menuliskan tentang bagaimana K (si tokoh utama) yang bakal menjadi surveyor tanah bagi penguasa kastil, yang tidak dapat akses ke kastil tersebut. Dia berinteraksi dengan tokoh-tokoh yang tinggal di sekitar istana tersebut dengan karakter-karakter yang menurutku absurd. Not in a good sense.

Dan bahasa yang dipakai (versi inggris) juga bahasa yang sangat formal menurut telinga jaman ini. Aku tidak terlalu keberatan dengan hal itu. Kafka seperti hendak menguji kesabaranku. 10 bab yang tidak jelas apa maksudnya, dan bahkan tidak menarik. Tidak ada elemen-elemen yang biasanya membuatku terhipnotis dan ingin terus membacanya.

Kenapa Kafka jadi begitu terkenal?

Namun jangan salah, tulisan ini cuma mempertanyakan karya yang berjudul The Castle ini. Aku pernah baca karya Kafka yang lain dan terpesona: "Metamorphosis".

Mungkinkah aku yang belum banyak tahu tentang penulis ini? Maybe....

Wednesday, October 25, 2006

The Plague to The Black Book and Catch-22

Aku kehilangan minat untuk meneruskan The Plague-nya Albert Camus. Sejauh ini aku sudah sampai halaman 115 dari 238. Aku sudah mulai akrab dengan tokoh-tokohnya, kota kecil Oran berikut masalah wabah penyakit yang sedang menimpanya. Tapi, begitulah, aku kehilangan momentum. Tidak ada dorongan untuk mengetahui akhir cerita. Paling tidak untuk saat ini. Dialog-dialognya juga tidak membuaiku, tidak membuatku tenggelam. A little depressing. Sesuatu yang saat ini aku tidak begitu perlu.

Walaupun begitu ada satu paragraf yang menarik untuk dikutip. Dialog antara Tarrou dan si dokter yang terus berjuang melawan wabah penyakit, walaupun dia tahu bahwa usahanya ini seperti tidak akan membawa hasil berarti:
"Why are you yourself so dedicated when you don't believe in God?"
Without emerging from the shadows, the doctor said that he had already answered that: if he believed in an all-powerful God, then he would stop healing people and leave it up to Him. But since no one in the world believed in a God of that kind - not even Paneloux who thought that was what he believed - because no one abandoned himself entirely to Him, in this at least Rieux felt he was on the right path, in struggling against the world as it was.

Aku mendapat hadiah ulang tahun The Black Book nya Orhan Pamuk. Tentu saja ini akan kunikmati sebagai bacaan waktu senggangku. Aku sudah tahu bahwa Pamuk bukanlah bacaaan yang "mudah". Jadi tidak perlu menunggunya selesai untuk memulai buku lain.

Suatu saat aku sempat berbicara dengan seseorang yang bekerja di AETAT (sebuah biro tenaga kerja pemerintah Norwegia) mengenai situasiku. Dan dia bilang, "Wah, kamu terjebak dalam Catch-22". Aku jadi bengong gak tahu harus bereaksi apa. "Itu lho situasi yang digambarkan dalam novel Catch-22". Seakan itu adalah sebuah pengetahuan umum. Orang yang cukup punya selera humor itu lalu menjelaskan arti ungkapannya tadi.

Anyway, sekarang aku sedang mulai membaca Catch-22. Sebagian besar karena dialog diatas, sebagian lain karena memang aku punya kebiasaan untuk mengabadikan sebuah moment dengan novel sebagai mementonya. Momen kali ini adalah interview tahap akhirku dengan Bekk Consulting A/S. Sebuah perusahaan konsultan TI yang, mudah-mudahan, bakal merekrutku. Namun apapun hasil akhirnya nanti, pengalaman ini semakin memperjelas arah yang akan aku ambil dalam karirku. Let's see.

Jadi, Pak Camus, selamat menunggu lagi ya. Suatu saat nanti akan kuselesaikan The Plague mu. :-)