Tuesday, August 01, 2006

Orhan Pamuk

Suatu hari aku tak sengaja menonton acara Bokbadet ("Kolam buku") di NRK (TVRI nya Norway). Acara ini berisi interview dengan pengarang baik dari Norwegia maupun dari luar negeri. Kebetulan hari itu yang diwawancarai adalah Orhan Pamuk, pengarang dari Turki.

Aku sudah mengenal penulis ini sebelumnya lewat buku The New Life. Cerita yang cukup sulit. Aku tidak sepenuhnya menangkap detil cerita itu. Tapi aku ikuti sampai selesai karena novel ini berkisah tentang bagaimana kehidupan dua orang anak muda berubah akibat sebuah buku. Kalimat pembuka novel ini menyergap perhatianku: "I read a book one day and my whole life was changed." Bila Anda pecinta buku, bagaimana perasaan Anda terhadap sebuah novel yang diawali dengan kalimat tersebut?

Buku yang membuat dia sangat terkenal adalah My Name Is Red yang saat ini sedang aku baca. Buku ini seru sekali. Teknik penulisannya juga sangat kreatif menurutku. Bentuk novel ini adalah berupa rangkaian penggalan-penggalan persepsi tokoh-tokoh dalam cerita yang bertutur dengan sudut pandang orang pertama. Tidak jarang ketika tokoh-tokoh tersebut berinteraksi, suatu kejadian yang sama, bisa dituturkan dengan sudut pandang yang berbeda. Aku senang membacanya.

Teman kuliahku, Erek Gökturk, yang orang Turki juga, menyarankan buku The Black Book. It's the best, katanya. Dia juga sedikit mengeluhkan betapa Orhan Pamuk sering menggunakan kalimat yang panjang-panjang. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana kalimat-kalimat tersebut bisa diterjemahkan ke Inggris atau bahasa lain. Sayang aku belum sempat membaca buku itu. Suatu saat nanti janjiku.

Kembali ke acara Bokbadet tadi. Sebelum menyaksikan interview ini aku tidak merasakan ada sesuatu yang istimewa dengan pengarang ini. Bagus sih bagus, that's it. Namun ketika dia menjawab satu demi satu pertanyaan pewawancara dengan cara yang original dan kadang lucu dan mengagetkan, aku mulai tertarik pada sosok ini.

Jujur tapi playful. Aku tidak menemukan kata yang pas untuk playful dalam bahasa Indonesia. Dia menjawab pertanyaan apakah sebagai penulis dia sering memanfaatkan materi dari kehidupan pribadinya. Dia menjawab ya dan tidak. Nyengir jenaka. Itu adalah hal yang tidak terelakkan. Mau tidak mau penulis akan menampilkan dirinya dalam apa yang dituliskannya. Namun seninya adalah menyembunyikan mana hal yang sebenarnya dan mana yang fiktif. Jadi ya tidak bisa diprotes katanya. Saya dengan mudah bisa mengelak bahwa itu cuma fiktif kok.

Ketika ditanya bagaimana sikap dia atas ketenaran yang saat ini sudah diraihnya. Dengan cara yang sama, jenaka dan playful, dia menjawab, kalau saya bilang tidak senang dengan ketenaran itu pastilah saya bohong. Tapi mengakui terang-terangan bahwa saya menikmatinya juga tidak baik.

Namun dia juga mengakui bahwa sebagai penulis dia mengalami situasi mood yang naik turun. Ketika menulis sendirian, kadang juga dilanda semacam depresi. Sementara ketika tampil di depan publik seperti ini, tiba-tiba tampillah pribadi yang berbeda.

Dari wawancara ini ada beberapa hal yang sesuai dengan apa yang pernah aku baca mengenai kegiatan menulis. Pertama kejujuran terhadap diri sendiri. Penulis mau tidak mau harus membuka dirinya dan menumpahkan isinya diatas kertas putih. Tanpa itu akan sulit meraih kedalaman dan olah rasa sebuah karya. Kedua, penulis kreatif mempunyai kebebasan untuk menentukan sejauh mana keterbukaan itu. Toh, tuntutan utama sebuah novel bukanlah akurasi informasi yang disampaikan.

Orang membaca novel untuk bergaul dengan ide-ide. Kadang juga untuk mengunjungi ranah-ranah yang tidak mungkin didatangi secara fisik. Serta untuk menikmati bagaimana cara ide-ide tersebut dijalin dan disajikan oleh pengarang. Sebuah novel yang sepenuhnya bergantung pada akurasi data akan menjadi kering. Contohnya: Digital Fortress nya Dan Brown. Atau karya-karyanya yang lain. Bagiku ini adalah sekedar thriller. Mencengangkan untuk sesaat. Tapi tidak akan berbekas dalam kehidupanku. Novel yang bagus bagiku adalah novel yang memberikan bekas.

Karya Pamuk yang lebih baru dari yang sudah disebut diatas adalah Snow. Aku telah membacanya dan terpesona. Novel ini menangkap tensi politik dan budaya di Turki berkaitan dengan pertentangan antara nilai kemodernan dan nilai agama tradisional. Pembacaan novel ini juga sangat relevan bila dikaitkan dengan situasi dunia saat ini yang penuh ketegangan berdimensi ideologi dan agama.

Tercenung aku membayangkan negaraku mengalami apa yang sudah dan sedang dialami negara seperti Turki dan Sudan.

Aku akhiri tulisan ini dengan sebuah harapan. Semoga aku, suatu saat nanti, bisa merasakan nikmatnya menulis seperti yang sudah dirasakan si Pamuk. Despite everything else, like fame and financial success, he obviously seems to enjoy what he is doing.

1 Comments:

At 9:34 PM, Blogger AK Tontowi said...

Salam mas Irwan,

tahu blog nya dari tempatnya SalimS
artikel tentang novelis turkinya menarik

masih aktif ngblog nYA?

thanks,
Cholis, C09 (kenal?)

 

Post a Comment

<< Home