Sunday, August 06, 2006

Sebuah memoar penuh gelegar

Suatu kebetulan (is there any such thing as a coincidence?) membuatku membaca dengan cukup teliti memoar Imam Samudra. Pelaku bom Bali. Orang yang mengaku melakukan jihad demi Islam. Harus kubaca dengan teliti karena aku diminta menerjemahkannya untuk keperluan suatu studi.

Memoar yang kubaca adalah fotokopi tulisan tangan Imam. Ditulis dengan huruf kapital. Dua baris tulisan dipaksakan muat dalam satu garis buku tulis. Sangat melelahkan untuk dibaca. Seorang teman psikolog yang sempat melihat teks itu berkomentar spontan tentang kepribadian sang penulis. Betapa orang ini penuh restriksi, kaku dalam berpikir dan keras kepala. Aku tahu ini bukan analisa mendalam. Tapi aku rasa ada benarnya. Tidak mudah lho menulis dengan cara seperti itu. Huruf kapital semuanya, lebih dari 100 halaman.

Menelusuri untaian kalimatnya pun semakin mengukuhkan analisa singkat tadi. Mau tidak mau tulisan akan menunjukkan cara berpikir penulisnya. Dan lebih mudah melihat pola ini dalam tulisan ketimbang melalui penyampaian lisan.

Kesan utamaku adalah orang ini tidak berpikir sama sekali. Yang dia ungkapkan adalah siaran ulang dari segala hal yang telah didengar, diindoktrinasi dan dialaminya dengan suatu "filter" yang sangat restriktif. Loncatan-loncatan ide dalam argumentasi seringkali menghasilkan sebuah kesimpulan yang aneh. Mixing apples and oranges seringkali terjadi.

Pandangan dunianya (worldview) juga sangat tertutup dan absolut. Ontologinya sangat terbatas. Dengan pandangan dunia seperti itu tidak mungkin ada dialog. Sebab tidak ada kemungkinan kebenaran bagi pihak lain yang tidak berpikir seperti dia, yang tidak bersandar pada ayat-ayat suci yang dia yakini.

Aku membayangkan betapa mudahnya orang dapat terjebak dengan cara berpikir seperti ini. Mungkin kebanyakan dari mereka tidak akan sampai bertindak destruktif seperti Imam. Tapi alangkah menderitanya bila harus melihat dunia (worldview) dengan cara seperti itu? Orang dengan cara pandang seperti ini akan cenderung menyeleksi dan mengumpulkan contoh-contoh kejadian di dunia ini yang mendukung pandangannya itu saja. Lantas menggeneralisasinya menjadi suatu kebenaran mutlak.

Ada bagian-bagian dari memoar itu yang seakan menjadi tempat beristirahat sejenak dari ambisi besarnya. Disana tergambar sisi-sisi kemanusiaannya: rasa rindu keluarga dan tanah air, getar asmara, dan hobby-hobby kecil seperti surfing internet dan hacking. Namun bagian-bagian ini selalu diiringi atau diakhiri dengan sebuah pembenaran atau perasaan bersalah. Restriksinya muncul kembali. Seakan dia tidak rela kebenaran absolut dan suci yang telah dia bangun sepanjang hidup terkotori oleh hal-hal remeh dan manusiawi.

Selama tidak merugikan orang lain dan komunitas luas, sah-sah aja kalau mau berpikir seperti itu, apapun dasarnya (tidak terbatas pada agama atau ideologi). Tapi kelihatannya melelahkan sekali. Kasihan ya...

Baiklah, aku mau kembali meneruskan bacaanku yang melelahkan ini. :-)

1 Comments:

At 6:36 PM, Blogger doe koer said...

Coba diposting contoh2 tulisannya.. jadi para pembaca bisa ikut membayangkan :)

 

Post a Comment

<< Home