My Name Is Red
Akhirnya selesai juga aku membaca My Name Is Red nya Orhan Pamuk. Novel yang ditulis dari sudut pandang orang pertama. Hanya ada banyak suara orang pertama: semua tokoh utama ditambah dengan obyek-obyek penting yang mendukung alur cerita. Dua orang darwis sufi yang dilukis potret, warna merah, setan dari dalam sebuah lukisan adalah contoh-contoh obyek yang ikut menyumbangkan suaranya dalam cerita. Dan mereka menggunakan sudut pandang "saya" (orang pertama).
Setiap "saya" dalam novel ini menuturkan ceritanya masing-masing dalam bentuk "stream of consciousness". Indera manusia menyerap begitu banyak stimuli yang direkam oleh otak secara "real time" sekaligus. Betapa rumitnya mekanisme kesadaran (consciousness) manusia. Sembari memahami suatu kejadian, ia juga menangkap warna-warna, suhu udara, ingatan-ingatan masa lalu dan sebagainya. Dengan ambisi menuturkan sebuah "stream of consciousness", Pamuk menciptakan untaian kata-kata yang penuh stimuli untuk area otak yang berbeda-beda.
Kadang kalimatnya begitu panjang dan terdiri dari beberapa ide utama. Ini jelas melanggar kaidah menulis, terutama untuk tulisan akademis. Menurut tradisi yang kedua ini, setiap kalimat hanya boleh mengandung satu ide utama. Namun, karena ini adalah penulisan kreatif (creative writing) yang menurut saya adalah sebuah karya seni, si penulis bebas menentukan kaidah-kaidahnya sendiri. Dan pembacalah yang kemudian menentukan mau tidaknya mengikuti kaidah si penulis. Dan saya salah satu yang mau.
Pamuk begitu lihai menyembunyikan identitas si pembunuh. Yup, ini cerita pembunuhan yang berlatar belakang kehidupan seniman lukis di jaman kerajaan Ottoman. Novel ini memberikan ilustrasi yang bagus dan detil tentang segala ambisi dan kegelisahan para master pelukis jaman itu. Di satu sisi ketaatan pada kaidah menggambar yang "islami" - tidak menggambarkan benda hidup seperti aslinya, yang dianggap dapat menjadi berhala - sementara disisi lain ada "inovasi" baru dari pelukis Eropa (Venesia) yang berupa gaya lukis naturalis, potret, dan menggunakan prinsip-prinsip perspektif. Maaf kalo aku salah dalam penggunaan terminologi seni lukis.
Di paragraf terakhir Pamuk mengakui siapa master pencerita kisah ini melalui salah satu karakternya. Pengakuan ini juga berisi peringatan adanya kemungkinan bias, karena ternyata master pencerita itu adalah salah satu dari karakter yang tidak bersuara. Membingungkan, bukan? Bacalah sendiri. Aku senang cara Pamuk merangkai segmen-segmen cerita dengan cara yang bikin penasaran dan kadang mengejutkan.
Seperti menjaring ikan di aliran sungai deras, kita harus sabar menunggu dan terus memperhatikan arus air sampai ikan kita dapatkan. Dari arus pikiran karakter novel ini kadang ada ikan informasi penting untuk alur cerita yang harus kita tangkap. Kadang tergoda untuk melompati paragraf berikut dengan anggapan paragraf tersebut tidak penting. Namun detil-detil penting tersebar di tempat-tempat yang tidak bisa kita duga. So, keep watching!
Akhir kata, I am now looking forward to more reading experiences like this!