Thursday, January 07, 2010

Sketsa Andalusia 4: Arsitektur dan Falsafah Kehidupan

Ingin kupinjam kata-kata Gerald Brenan untuk menggambarkan sebagian yang kurasakan ketika berada di dalam istana Alhambra maupun monumen-monumen peninggalan Moor lainnya di Andalusia. Brenan adalah seorang penulis dan pengamat Spanyol berkebangsaan Inggris yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Spanyol. Dia menggambarkan perasaan yang ditimbulkan oleh gaya arsitektur di Spanyol dengan membandingkan peninggalan jaman Kristen dan Moor (Islam). Sebuah perbandingan yang sedikit kusentuh pada sketsa no.2 tentang Palacio de Carlos V. Hal ini juga aku kaitkan dengan perasaan berbeda yang kualami ketika mengunjungi salah satu jantung peradaban Kristen di Eropa.



Begini ujar Brenan – yang dinukil dari buku Spain: A Literary Companion,
“Tidak ada dua gaya arsitektur yang lebih bertolak belakang daripada arsitektur Muslim dan Kristen Barat. Arsitektur Kristen Barat pada fase awalnya dipenuhi dengan bentuk-bentuk yang melambangkan bobot dan kebesaran; dan dalam fase keduanya – jaman Gothic – berupa pembebasan spektakuler dari beratnya bobot pada fase sebelumnya menjadi bentuk yang menjulang ke angkasa. Kedua gaya tersebut menitikberatkan pada hebatnya gaya gravitasi, yang satu dalam bentuk batu masif berat ke bawah (searah gravitasi), dan yang satu lagi tiang-tiang menjulang seperti pohon-pohon besar yang melawan arah gaya gravitasi. Beban ”dosa turunan” (original sin) yang menekan kesadaran manusia dan cenderung untuk menarik dunia kembali ke dalam primitifnya Abad Kegelapan digambarkan dengan batu-batu masif tersebut. Kesadaran waktu (sense of duration) – keyakinan akan kekekalan eksistensi manusia di bumi – juga ditekankan: Gereja Universal (the universal church) dibangun diatas batu yang akan berdiri selama-lamanya, dan dengan begitu ia dapat menginterpretasikan sejarah dalam kerangka naik turunnya moralitas, sebagaimana yang diajarkan dalam Perjanjian Lama.

Arsitektur bangsa Moor adalah kebalikannya. Sebuah masjid memiliki fungsi sebagai pengadilan (court), alun-alun dan pasar, yang dibangun dengan ”ringan” untuk menampung orang banyak. Allah itu Maha Besar sehingga tidak ada yang dapat dibangun manusia untuk menandingi kekuatan maupun kelanggengannya, dan dalam sebuah masyarakat yang didalamnya ada sistem harem yang membikin kompleks garis keturunan, kebanggaan jaman feodal – yang bersumber dari asosiasi antara kepemilikan tanah dengan sebuah keluarga dan dari prospek keturunan yang panjang – tidaklah relevan. Kastil-kastil Muslim pun, walaupun berukuran besar, memberikan kesan ringan dan insignifikan. Selain itu sebuah masjid juga merupakan tempat untuk merenungkan keesaan Allah. Apa yang lebih baik dilakukan selain menyajikan labirin pola-pola geometris untuk dipandang? Kondisi pikiran yang diharapkan adalah semi-trance. Pikiran yang merenungkan pola-pola tersebut, yang tahu bahwa pola-pola itu dapat diurai namun ia tidak mengurainya. Pandangan akhirnya singgah pada apa yang terlihat, dan warna-warna halus, variasi terang dan gelap menambah nuansa inderawi pada penyajian visual nikmatnya sebuah kepastian.”

Tuesday, January 05, 2010

Sketsa Andalusia 3: Buku-buku Washington Irving

Kubilang dalam posting sebelumnya bahwa aku akan menelusuri jejak Washington Irving dalam menelusuri Andalusia.

Musim panas 2009 yang lalu, aku dan kedua adikku mengunjungi Kopenhagen. Disana ada book sale yang membuatku membeli sekantong buku dengan harga murah. Diantara buku yang kubeli ada empat jilid buku kuno yang kubeli tanpa pikir panjang hanya karena bentuknya. Bentuknya seperti yang sering kulihat di film-film Sherlock Holmes.

Baru saja kulihat lagi, ternyata keempat buku itu adalah karangan Washington Irving yang ingin aku cari. Judul-judulnya sebagai berikut:
  • The Alhambra: Tales of a Traveler (1876)
  • Sketch book. Life of Goldsmith (1876)
  • Conquest of Granada and Spain (1876)
  • Mahomet and His Successors (1878)
Sebuah kebetulan?


Sunday, January 03, 2010

Sketsa Andalusia 2: Alhambra

Seorang kawan baik, ketika kuberitahu aku sedang jalan-jalan di Alhambra, spontan berkomentar, ”Does it really exist?? I thought it was just a funny name.” Hehehe.....

Alhambra adalah sebuah kastil yang terletak di kota Granada. Granada adalah salah satu kota penting bersejarah di propinsi Andalusia, di bagian selatan dari Spanyol yang sangat dekat dengan benua Afrika.



Kata Alhambra diambil dari nama lengkap monumen ini dalam bahasa arab al-qala’at al-hamra (the red castle). Dipandang dari jauh, kompleks istana ini seperti sesuatu yang biasa ditemui dalam dongeng-dongeng. Ia mendominasi pemandangan seputar kota Granada, berdiri menjulang di tengah hutan-hutan cypress dan elms, dengan latar belakang pegunungan Sierra Nevada. Dari atas kastil ini bisa melihat seluruh penjuru kota.

Di dalamnya ada dua tempat utama, yaitu Palacio Nazaríes (Nasrid Palace) yang penuh dekorasi memukau dan Generalife, sebuah kompleks kebun-kebun yang indah. Air dipakai menjadi media seni di tempat ini. Di banyak sudut, kalau tidak bisa dibilang semua, suara air mengalir selalu terdengar di hamparan kehijauan. Kombinasi yang dapat membawamu ke tempat yang jauh. Seperti gambaran surga dalam kitab suci.

Namun tentu saja, menjadi wisatawan di jaman sekarang, kita harus berbagi dengan ribuan pengunjung lainnya. Sehari sebelumnya, konon tiket sebanyak 8000 buah telah terjual habis untuk jatah hari itu. Dengan volume kunjungan semacam ini, perlu usaha tambahan bila berminat untuk lebih mendalami dari yang sekedar kasat mata.

Selain dua tempat utama diatas ada pula Alcazaba (Citadel (inggris) atau Kasbah (arab)) yang secara fisik tampak jelas fungsi militeristiknya. Palacio de Carlos V adalah gedung baru yang seperti diimplantasikan dalam kompleks gedung. Arsitektur gedung ini lebih terkesan gaya romawinya, sangat berbeda dengan gedung-gedung sekitarnya. Kuduga ia dibangun setelah Alhambra jatuh ke tangan kekuasaan Kristen.

Alhambra menjadi tempat pertahanan terakhir dari kekuasaan Islam (Moor) di daratan Spanyol. Boabdil, sang raja Moor yang terakhir, turun ke lembah untuk menyerahkan kunci kota kepada monarki Katolik pada tahun 1492. Tindakan monumental ini menandakan akhir dari 700 tahun masa kekuasaan Moor, serta pemutusan resmi ikatan dengan kerajaan yang mendominasi wilayah Mediterania dari Baghdad sampai ke Cordoba.

The peculiar charm of this old dreamy place,” tulis Washington Irving tentang Alhambra di tahun 1833, “is its power of calling up vague reveries and picturings of the past, and thus clothing naked realities with the illusions of the memory and the imagination.” Pesona khas tempat ini adalah kemampuannya untuk menenggelamkan kita dalam impian sayup-sayup serta gambaran-gambaran dari masa lalu, dan kemudian membungkus realitas telanjang dengan ilusi yang dibentuk oleh kenangan dan imajinasi.

Irving adalah salah satu dari petualang romantik (romantic traveler) yang mempopulerkan Alhambra dengan buku-bukunya, seperti diantaranya Tales of the Alhambra. Tahun 2009 yang baru saja berlalu diperingati sebagai 150 tahun Irving dan Alhambra. Kalau tidak salah 1859 adalah tahun kematian Irving. Aku berencana untuk menggunakan tulisan-tulisan Irving sebagai salah satu sumber utama untuk sketsa-sketsa selanjutnya, dengan menyandingkan pengalaman perjalanan yang tentunya berbeda dengan pengalamanku. Irving mengunjungi Alhambra ketika ia belum menjadi sebuah cagar budaya dan ketika turisme belum menjadi sebuah komoditas. Suatu privilese yang tidak mungkin aku dapatkan saat ini.

Ref:

  • Spain: A Literary Companion by Jimmy Burns.
  • Andalucía: Lonely Planet Guide
  • Google Maps

Sketsa Andalusia 1: Sublime is the Mansion



Pada tahun kelahiranku, 1976, penulis argentina Jorge Luis Borges – yang menginspirasi penulis yang kemudian menginspirasiku – mengunjungi Alhambra. Borges buta, tapi dia menggunakan ingatannya akan sejarah serta indera penciuman dan perasanya untuk membayangkan istana tersebut. Dalam puisinya ”Alhambra” Borges merasakan lewat sentuhan tangannya permukaan pualam yang halus, dia mendengarkan gumaman air yang mengalir, mencium aroma manisnya jeruk yang ranum, kemudian mengingat kembali dengan kesedihan kekalahan pamungkas Raja Boabdil.

"Your gentle ways now depart,
your keys will be denied you,
the faithless cross will wipe out the moon,
and the evening you gaze upon
will be the last.”

(“Kehalusanmu kini telah pergi,
kunci-kuncimu akan dirampas darimu,
salib kafir akan menghapus rembulan,
dan malam yang kau pandangi
akan menjadi yang terakhir
.”)



Kini tiga puluh tiga tahun kemudian, sehari sebelum hari peringatan Raja Boabdil yang resmi kehilangan kekuasaannya pada tanggal 2 Januari 1492, aku duduk di depan Mirador San Nicolas di puncak Albaizín. Kupandangi Istana Alhambra dari kejauhan. Kemegahannya tinggal sebuah cerita sunyi. Seperti Borges, aku menutup mataku untuk melihat kecantikan tempat yang kukunjungi dua hari sebelumnya. Untuk kedua kalinya. Kubayangkan gumaman air mengalir di kebun-kebun Generalife








Kurasakan kencangnya angin yang mendoyongkan tubuhku di puncak menara Alcazaba.
Kuhidupkan kembali kenangan yang tidak pernah kupunyai, selain dari sumber pengetahuan intelektual. Berjanji dalam hati, akan kutelusuri ketertarikan hati ini lewat sketsa-sketsa pendek yang kuharap dapat menguntai arti.



Ref:
Spain: A Literary Companion by Jimmy Burns.