Tuesday, August 29, 2006

Konsep Diri

Konsep diri ternyata berperan penting dalam konteks pergaulan. Manusia tidak punya cara untuk mengetahui secara pasti apa yang orang lain pikirkan. Tapi kita sangat peduli dengan apa yang orang lain pikirkan. Tingkat kepedulian ini dan manifestasinya dalam perbuatan bervariasi sesuai dengan kultur dimana kita hidup.

Salah satu diantara elemen konsep diri itu, menurutku, adalah sistem nilai. Kita selalu meng-assign nilai pada setiap situasi atau tindakan kita. Situasi dan tindakan positif menimbulkan perasaan positif seperti kebanggaan dan harga diri. Sebaliknya menimbulkan perasaan negatif seperti takut atau malu.

Pergaulan antar manusia berbagai bangsa dan kultur berbeda punya tantangannya sendiri. Aku merasa, walaupun telah melakukannya lebih dari enam tahun, tetap sistem nilaiku tidak jauh berubah dari awal. Hal-hal yang membuatku bangga, senang, malu, takut, atau benci, tampaknya tidak jauh melenceng dari kultur dimana aku dibesarkan. Atau juga sesuatu yang inheren sejak dulu, yang mungkin agak berbeda dari kulturku itu tadi.

Suatu saat aku tersadar, kenapa aku perlu merasa ini dihadapan kenalan-kenalan asingku? Toh menurut sistem nilai mereka belum tentu situasi dan tindakanku perlu disikapi seperti ini. Ketika menyadari ini akupun berproses untuk berdamai dengan dua kutub berbeda itu. Namun pada akhirnya tetaplah aku yang harus memutuskan setiap sikap dan perasaanku tadi. Lagi-lagi sistem nilai itu akan mendominasiku.

Aku tahu tulisan ini pasti abstrak sekali untuk dibaca orang lain. Memang kusengaja. Sembari melatih diri menuliskan hal yang abstrak dan menjaga kerahasiaannya, aku berhak meletakkan tulisan ini disini. Sebuah surat dalam botol yang kuhempaskan ke tengah samudra. Kuberharap surat ini akan berbicara padaku suatu saat nanti. Disaat yang mungkin paling aku butuhkan.

Sunday, August 06, 2006

Sebuah memoar penuh gelegar

Suatu kebetulan (is there any such thing as a coincidence?) membuatku membaca dengan cukup teliti memoar Imam Samudra. Pelaku bom Bali. Orang yang mengaku melakukan jihad demi Islam. Harus kubaca dengan teliti karena aku diminta menerjemahkannya untuk keperluan suatu studi.

Memoar yang kubaca adalah fotokopi tulisan tangan Imam. Ditulis dengan huruf kapital. Dua baris tulisan dipaksakan muat dalam satu garis buku tulis. Sangat melelahkan untuk dibaca. Seorang teman psikolog yang sempat melihat teks itu berkomentar spontan tentang kepribadian sang penulis. Betapa orang ini penuh restriksi, kaku dalam berpikir dan keras kepala. Aku tahu ini bukan analisa mendalam. Tapi aku rasa ada benarnya. Tidak mudah lho menulis dengan cara seperti itu. Huruf kapital semuanya, lebih dari 100 halaman.

Menelusuri untaian kalimatnya pun semakin mengukuhkan analisa singkat tadi. Mau tidak mau tulisan akan menunjukkan cara berpikir penulisnya. Dan lebih mudah melihat pola ini dalam tulisan ketimbang melalui penyampaian lisan.

Kesan utamaku adalah orang ini tidak berpikir sama sekali. Yang dia ungkapkan adalah siaran ulang dari segala hal yang telah didengar, diindoktrinasi dan dialaminya dengan suatu "filter" yang sangat restriktif. Loncatan-loncatan ide dalam argumentasi seringkali menghasilkan sebuah kesimpulan yang aneh. Mixing apples and oranges seringkali terjadi.

Pandangan dunianya (worldview) juga sangat tertutup dan absolut. Ontologinya sangat terbatas. Dengan pandangan dunia seperti itu tidak mungkin ada dialog. Sebab tidak ada kemungkinan kebenaran bagi pihak lain yang tidak berpikir seperti dia, yang tidak bersandar pada ayat-ayat suci yang dia yakini.

Aku membayangkan betapa mudahnya orang dapat terjebak dengan cara berpikir seperti ini. Mungkin kebanyakan dari mereka tidak akan sampai bertindak destruktif seperti Imam. Tapi alangkah menderitanya bila harus melihat dunia (worldview) dengan cara seperti itu? Orang dengan cara pandang seperti ini akan cenderung menyeleksi dan mengumpulkan contoh-contoh kejadian di dunia ini yang mendukung pandangannya itu saja. Lantas menggeneralisasinya menjadi suatu kebenaran mutlak.

Ada bagian-bagian dari memoar itu yang seakan menjadi tempat beristirahat sejenak dari ambisi besarnya. Disana tergambar sisi-sisi kemanusiaannya: rasa rindu keluarga dan tanah air, getar asmara, dan hobby-hobby kecil seperti surfing internet dan hacking. Namun bagian-bagian ini selalu diiringi atau diakhiri dengan sebuah pembenaran atau perasaan bersalah. Restriksinya muncul kembali. Seakan dia tidak rela kebenaran absolut dan suci yang telah dia bangun sepanjang hidup terkotori oleh hal-hal remeh dan manusiawi.

Selama tidak merugikan orang lain dan komunitas luas, sah-sah aja kalau mau berpikir seperti itu, apapun dasarnya (tidak terbatas pada agama atau ideologi). Tapi kelihatannya melelahkan sekali. Kasihan ya...

Baiklah, aku mau kembali meneruskan bacaanku yang melelahkan ini. :-)

Wednesday, August 02, 2006

Pindahan

Pindahan mengingatkan kita akan pergerakan waktu. Pada suatu saat kita harus menempati ruang tertentu, dan kemudian disaat yang lain kita meninggalkannya. Menempati semesta yang baru.

Pindahan adalah bagian dari momentum persinggahan. Tanpa pindahan manusia tidak akan bisa singgah. Signifikasi persinggahan adalah adanya batas waktu. Lawan katanya adalah menetap. Suatu ilusi yang disandarkan pada suatu persinggahan yang berlangsung begitu lama.

Pindahan memberikan suasana emosional baru. Sesuatu yang sangat aku butuhkan saat ini. Dalam tataran yang lebih umum, hidupku sedang mengalami masa perpindahan. Pindahan fisik melelahkan badan, begitu juga pindahan mental memberikan beban emosional.

Pada pindahan fisik, barang-barang yang sebelumnya ditata dengan logika menetap -- TV ada diatas meja TV, buku disusun berdiri di rak buku, piring-piring ditumpuk di lemari dapur -- diobrak-abrik dan ditata ulang dalam kardus-kardus tanpa nama. Tidak ada ekspektasi didalamnya, seperti kita berharap menemukan piring dan gelas di lemari dapur. Semua kardus tampak sama dari luar, baik dari segi warna maupun ukuran. Kalaupun toh berbeda, tapi perlakuannya tetap sama. Ini kardus, ya kardus. Tak peduli apakah isinya buku atau celana dalam.

Dengan penghilangan identitas elemen-elemen penyusun eksistensi rumah ini, diharapkan dapat memudahkan proses perpindahan. Siapa saja bisa melakukannya. Orang tidak perlu merasa malu celana dalamnya diangkut oleh tetangga, karena semuanya sudah dimasukkan ke dalam kardus.

Pindahan adalah aktivitas sosial. Selagi bisa, sungguh menyenangkan melakukannya bersama orang-orang yang peduli dan menyayangi kita. Uluran tangan mereka akan jadi catatan dalam sejarah persahabatan. Catatan yang menyenangkan untuk dikenang, karena seringkali ada kejadian-kejadian yang lucu dan pantas untuk dikenang. Catatan ini juga mendorong kita untuk melakukan hal yang sama bila kawan kita akan pindahan suatu saat nanti. Bisa jadi kehadiran mereka saat ini adalah bagian dari catatan sejarah persahabatan yang telah lalu.

Apa yang terjadi pada pindahan spiritual? Pindahan ini menandai perjalanan hidup seorang manusia. Dari bayi menjadi kanak-kanak, menjadi remaja, dewasa dan seterusnya. Saat sudah mencapai kedewasaan perpindahanpun berubah menjadi sangat personal, lebih halus dan tidak mencolok. Perpindahan pekerjaan, karir, dan banyak lagi.

Disaat inilah ada baiknya bila kita menempatkan elemen-elemen kehidupan kita saat ini dalam "kardus-kardus" yang mudah dibawa dan dapat dipindahkan. Kardus-kardus itu akan menutupi sesaat elemen-elemen yang membentuk dan menonjolkan ego. Kardus-kardus itu juga menjadi penanda bahwa elemen-elemen itu akan disusun dengan cara yang berbeda saat dikeluarkan nanti. Itulah inti perubahan.

Dan yang tak kalah pentingnya, kardus-kardus itu dapat memudahkan uluran tangan orang lain meraih kita. Uluran tangan yang tentu saja akan menjadi catatan sejarah persahabatan. Catatan yang lebih manis dan abadi. Catatan yang tidak mungkin dapat dilupakan.

Malam ini aku bahagia. Karena aku mengalami kedua jenis pindahan itu. Dan uluran tangan yang menghampiriku telah memberikan catatan tegas dalam buku sejarah persahabatan kami.

Ada banyak pena tersedia dan mencoba menuliskan sesuatu dalam buku itu. Namun hanya sedikit yang sanggup memberikan ketegasan. Selebihnya kadang hanya pemanis bibir. Yang tidak penting dan akan sirna dalam sekejap.

Terima kasihku buat mereka yang begitu tegas menorehkan budi baiknya.

Tuesday, August 01, 2006

Orhan Pamuk

Suatu hari aku tak sengaja menonton acara Bokbadet ("Kolam buku") di NRK (TVRI nya Norway). Acara ini berisi interview dengan pengarang baik dari Norwegia maupun dari luar negeri. Kebetulan hari itu yang diwawancarai adalah Orhan Pamuk, pengarang dari Turki.

Aku sudah mengenal penulis ini sebelumnya lewat buku The New Life. Cerita yang cukup sulit. Aku tidak sepenuhnya menangkap detil cerita itu. Tapi aku ikuti sampai selesai karena novel ini berkisah tentang bagaimana kehidupan dua orang anak muda berubah akibat sebuah buku. Kalimat pembuka novel ini menyergap perhatianku: "I read a book one day and my whole life was changed." Bila Anda pecinta buku, bagaimana perasaan Anda terhadap sebuah novel yang diawali dengan kalimat tersebut?

Buku yang membuat dia sangat terkenal adalah My Name Is Red yang saat ini sedang aku baca. Buku ini seru sekali. Teknik penulisannya juga sangat kreatif menurutku. Bentuk novel ini adalah berupa rangkaian penggalan-penggalan persepsi tokoh-tokoh dalam cerita yang bertutur dengan sudut pandang orang pertama. Tidak jarang ketika tokoh-tokoh tersebut berinteraksi, suatu kejadian yang sama, bisa dituturkan dengan sudut pandang yang berbeda. Aku senang membacanya.

Teman kuliahku, Erek Gökturk, yang orang Turki juga, menyarankan buku The Black Book. It's the best, katanya. Dia juga sedikit mengeluhkan betapa Orhan Pamuk sering menggunakan kalimat yang panjang-panjang. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana kalimat-kalimat tersebut bisa diterjemahkan ke Inggris atau bahasa lain. Sayang aku belum sempat membaca buku itu. Suatu saat nanti janjiku.

Kembali ke acara Bokbadet tadi. Sebelum menyaksikan interview ini aku tidak merasakan ada sesuatu yang istimewa dengan pengarang ini. Bagus sih bagus, that's it. Namun ketika dia menjawab satu demi satu pertanyaan pewawancara dengan cara yang original dan kadang lucu dan mengagetkan, aku mulai tertarik pada sosok ini.

Jujur tapi playful. Aku tidak menemukan kata yang pas untuk playful dalam bahasa Indonesia. Dia menjawab pertanyaan apakah sebagai penulis dia sering memanfaatkan materi dari kehidupan pribadinya. Dia menjawab ya dan tidak. Nyengir jenaka. Itu adalah hal yang tidak terelakkan. Mau tidak mau penulis akan menampilkan dirinya dalam apa yang dituliskannya. Namun seninya adalah menyembunyikan mana hal yang sebenarnya dan mana yang fiktif. Jadi ya tidak bisa diprotes katanya. Saya dengan mudah bisa mengelak bahwa itu cuma fiktif kok.

Ketika ditanya bagaimana sikap dia atas ketenaran yang saat ini sudah diraihnya. Dengan cara yang sama, jenaka dan playful, dia menjawab, kalau saya bilang tidak senang dengan ketenaran itu pastilah saya bohong. Tapi mengakui terang-terangan bahwa saya menikmatinya juga tidak baik.

Namun dia juga mengakui bahwa sebagai penulis dia mengalami situasi mood yang naik turun. Ketika menulis sendirian, kadang juga dilanda semacam depresi. Sementara ketika tampil di depan publik seperti ini, tiba-tiba tampillah pribadi yang berbeda.

Dari wawancara ini ada beberapa hal yang sesuai dengan apa yang pernah aku baca mengenai kegiatan menulis. Pertama kejujuran terhadap diri sendiri. Penulis mau tidak mau harus membuka dirinya dan menumpahkan isinya diatas kertas putih. Tanpa itu akan sulit meraih kedalaman dan olah rasa sebuah karya. Kedua, penulis kreatif mempunyai kebebasan untuk menentukan sejauh mana keterbukaan itu. Toh, tuntutan utama sebuah novel bukanlah akurasi informasi yang disampaikan.

Orang membaca novel untuk bergaul dengan ide-ide. Kadang juga untuk mengunjungi ranah-ranah yang tidak mungkin didatangi secara fisik. Serta untuk menikmati bagaimana cara ide-ide tersebut dijalin dan disajikan oleh pengarang. Sebuah novel yang sepenuhnya bergantung pada akurasi data akan menjadi kering. Contohnya: Digital Fortress nya Dan Brown. Atau karya-karyanya yang lain. Bagiku ini adalah sekedar thriller. Mencengangkan untuk sesaat. Tapi tidak akan berbekas dalam kehidupanku. Novel yang bagus bagiku adalah novel yang memberikan bekas.

Karya Pamuk yang lebih baru dari yang sudah disebut diatas adalah Snow. Aku telah membacanya dan terpesona. Novel ini menangkap tensi politik dan budaya di Turki berkaitan dengan pertentangan antara nilai kemodernan dan nilai agama tradisional. Pembacaan novel ini juga sangat relevan bila dikaitkan dengan situasi dunia saat ini yang penuh ketegangan berdimensi ideologi dan agama.

Tercenung aku membayangkan negaraku mengalami apa yang sudah dan sedang dialami negara seperti Turki dan Sudan.

Aku akhiri tulisan ini dengan sebuah harapan. Semoga aku, suatu saat nanti, bisa merasakan nikmatnya menulis seperti yang sudah dirasakan si Pamuk. Despite everything else, like fame and financial success, he obviously seems to enjoy what he is doing.